Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ikut Campur





Karya:  Reza A.A Wattimena

Ikut campur, ini mungkin salah satu hobi orang mayoritas orang Indonesia. Mulai dari politik sampai dengan urusan kelamin, semua dicampur-dicampur. Akhirnya, orang jadi bingung. Kalau sudah bingung, ketegangan dan konflik lalu menjadi warna dari hidup sehari-hari.

Politik Ikut Campur

Di September 2016 ini, warga Jakarta sedang menantikan pemilihan gubernur di 2017 nanti. Langkah “ikut campur” pun mulai tampak. Para calon gubernur baru muncul dengan menggunakan militer dan agama sebagai pendukungnya. Politik “campur baur” adalah hasilnya, dan ini membuat para calon pemilih menjadi bingung, serta terpecah.

Cerita tentang agama yang ikut campur urusan politik sebenarnya adalah cerita lama. Di dalam masyarakat yang relatif homogen, proses ikut campur ini tidak menimbulkan banyak masalah. Namun, di dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia, ikut campurnya agama di dalam politik menciptakan banyak masalah. Salah satunya adalah peminggiran kepentingan orang-orang yang beragama minoritas, dan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda dengan mayoritas.
Di Indonesia, militer yang ikut campur urusan politik adalah bagian dari sejarah bangsa. Selama lebih dari 30 tahun, militer menjadi pemegang kekuasaan utama di semua bidang kehidupan bersama. Logika militer adalah logika tekan dan logika patuh. Ini sama sekali tidak cocok dengan pola masyarakat demokratis yang mengedepankan kebebasan dan nalar kritis.

Ekonomi pun kini mulai merangsek masuk ke dalam ranah politik. Semua unsur kehidupan bersama dinilai melulu dengan nilai-nilai ekonomis, yakni seberapa menjualnya hal tersebut. Orang lalu kehilangan kejernihan di dalam politik. Politik uang lalu menggantikan politik beradab, dan ini menciptakan suasana kehidupan bersama yang kacau balau.

Urusan Pribadi

Pada tingkat yang lebih kecil, agama dan ekonomi juga ikut campur urusan pribadi banyak orang. Keduanya menentukan cara berpakaian yang seharusnya di dalam masyarakat. Orang, terutama perempuan, lalu tidak memiliki kebebasan dan kuasa atas tubuhnya sendiri. Pada tingkat yang paling pribadi, cara bercinta pun diatur oleh agama. Ini memang sangat aneh dan menggelikan.
Urusan rumah tangga juga sering menjadi obyek ikut campur para biang gosip. Para biang gosip penasaran ingin tahu urusan rumah tangga orang lain, dan kemudian ikut campur, sekedar untuk melampiaskan hasrat gosipnya yang tak terkendali. Ini lalu menjadi bagian dari budaya nongkrong masyarakat Indonesia. Gosip dan pembunuhan karakter orang lain lalu menjadi bagian dari percakapan sehari-hari.

Pola ikut campur ini seringkali membawa lebih banyak masalah. Ini bagaikan menyiram bensin ke dalam api yang sudah membara. Gosip dan pembunuhan karakter akhirnya membuat komunikasi menjadi sulit. Prasangka buruk lalu menjadi dasar hubungan antar manusia, sehingga membuat kehidupan bersama menjadi kacau.
Mengapa orang suka ikut campur hal-hal yang bukan urusannya? Mengapa bangsa yang terbelakang suka mencampurkan hal-hal yang seharusnya dipisah, seperti misalnya agama dan politik? Ada beberapa hal yang kiranya bisa menjadi pertimbangan.

Mengapa Ikut Campur?

Biasanya, orang ikut campur didasari oleh niat baik untuk membantu. Namun, karena daya pikirnya lemah, akhirnya niat baik ini berubah menjadi sekedar ingin tahu, atau sekedar bergosip. Yang terjadi kemudian adalah pembentukan prasangka buruk dan pembunuhan karakter orang lain yang dibicarakan di belakang. Daya pikir lemah yang disertai niat baik adalah sumber kehancuran.
Orang juga ikut campur, karena ia tidak mampu berpikir distingtif. Ia tidak mampu membedakan urusan orang lain dan urusan pribadinya. Ia juga tidak mampu membedakan ruang publik dan ruang privat. Ini terjadi, karena orang mengalami salah asuh dan salah didik dari keluarga ataupun masyarakatnya.

Daya pikir lemah ini kerap kali digabung dengan hasrat tak tertahan untuk bergosip. Orang yang daya pikirnya lemah menemukan kenikmatan dari membicarakan sisi buruk orang lain. Ia merasa senang, jika orang lain jatuh. Orang Jerman punya istilah untuk hal ini, yakni Schadenfreude: kenikmatan dari penderitaan oran glain.
Ini terjadi, karena orang lemah secara pribadi. Ia tidak memiliki kepercayaan diri atas kemampuannya sendiri. Akibatnya, ia senang membandingkan dirinya dengan orang lain. Dari tindak membandingkan inilah lahir dorongan untuk ikut campur, bergosip dan prasangka buruk terhadap orang lain.

Sumber utama dari semua ini adalah kedangkalan diri. Kedangkalan diri ini tidaklah alami. Ia muncul dari kemalasan untuk berpikir dan kemalasan untuk belajar. Budaya lingkungan sekitar juga amat mempengaruhi, apakah orang mau belajar untuk mengembangkan dirinya, atau jatuh tenggelam ke dalam kemalasan dan kedangkalan.

Perlukah Ikut Campur?

Bolehkah kita ikut campur urusan orang lain? Bolehkan kita mencampurkan hal-hal yang tak boleh dicampurkan, misalnya di dalam kehidupan politik yang menggunakan agama sebagai daya dorongnya? Tidak ada yang mutlak di alam semesta ini. Semua perlu dilihat sesuai dengan konteksnya satu per satu.

Ketika orang lain diambang maut, kita wajib ikut campur menolongnya. Ketika orang lain mengalami musibah, kita wajib ikut campur untuk membantu. Ketika politik mulai kehilangan arah, agama wajib ikut campur memberikan panduan moral yang tepat. Ikut campur amat diperlukan, asal dilakukan dengan kejernihan pikiran dan niat baik, bukan sekedar emosi sesaat, atau hasrat bergosip yang tak tertahankan.

Kejernihan ini memungkinkan orang untuk membedakan, kapan ia harus diam, dan kapan ia harus ikut campur. Sayangnya, jarang sekali orang yang memiliki kejernihan ini. Kebanyakan orang terjebak pada analisis yang ia buat di kepalanya sendiri. Orang-orang lainnya tak mampu menahan emosi dan hasrat untuk ikut campur, pun jika itu hanya untuk memuaskan kenikmatannya belaka. Mereka sesungguhnya tak peduli pada kehidupan orang lain.

Kejernihan ini hanya dapat diperoleh, jika orang mau belajar dan berpikir. Banyak orang belajar seperti robot. Mereka hanya menelan informasi, tanpa mengolahnya secara kritis terlebih dahulu. Mereka cerdas dan memiliki nilai akademis tinggi. Akan tetapi, hidupnya dangkal dan tak bermakna untuk masyarakat luas.

Kejernihan adalah buah dari olah diri. Orang tidak hanya cantik atau ganteng secara fisik, tetapi juga memiliki welas asih terhadap mahluk lain. Sikap hidup semacam ini tidak hanya lahir dari teori intelektual, tetapi dari kesadaran mendalam akan kesatuan segala sesuatu di alam semesta ini. Disini dibutuhkan rasa dan intuisi. Dua hal yang semakin langka di jaman ini.

Post a Comment

0 Comments